Senin, 01 Desember 2014

mutu pendidikan

KONSEP MUTU PENDIDIKAN a. Pengertian Konsep mengenai mutu pendidikan berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Mutu, dalam pengertian umum dapat diartikan sebagai derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa barang atau jasa. Konsep Mutu Menurut Edward Sallis : terdapat tiga pengertian konsep mutu. Pertama, mutu sebagai konsep yang absolut (mutlak), kedua, mutu dalam konsep ysng relatif, dan ketiga, mutu menurut pelanggan. b. Konsep Yang Absolutab sesuatu dikatan bermutu jika memenuhi standar yang tertinggi dan tidak dapat diungguli, sehingga mutu dianggap sesutau yang ideal yang tidak dapat dikompromikan, seperti kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka konsep mutu absolut bersifat elite karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang dapat memberikan pendidikan dengan high quality kepada siswa, dan sebagian besar siswa tidak dapat menjangkaunya. c. Konsep Yang relatif, mutu bukanlah suatu atribut dari suatu produk atau jasa, tetapi sesuatu yang berasal dari produk atau jasa itu sendiri. Dalam konsep ini, produk yang bermutu adalah yang sesuai dengan tujuannya. d. Konsep Menurut Pelanggan mutu ditentukan sejauh mana ia mampu memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka atau bahkan melebihi. Karena kepuasan dan keinginan merupakan suatu konsep yang abstrak, maka pengertian kualitas dalam hal ini disebut ‘kualitas dalam persepsi – quality in perception’. b. Konsep Mutu dalam Pendidikan Menurut Sallis dalam Konsep Mutu dalam konteks pendidikan adalah produk dari lembaga pendidikan berupa jasa. Kepuasan pelanggan (siswa, orang tua, dan masyarakat) dibagi dalam dua aspek yaitu: 1. tata layanan pendidikan dan prestasi yang dicapai siswa. 2. mengacu pada berbagai input seperti tenaga pengajar, peralatan, buku, biaya pendidikan, teknologi, dan input-input lainnya yang diperlukan dalam proses pendidikan. 3. Kualitas mutu pada proses (pembelajaran), dengan argumen bahwa proses pendidikan (pembelajaran) yang paling menentukan adalah kualitas. 4. Orientasi mutu dari aspek output mendasarkan pada hasil pendidikan yang ditujukan oleh keunggulan akademik dan nonakademik di suatu sekolah. (Edward Sallis dalam Syaefuddin, dkk; 2007:2-8 unit 2) c. Konsep Mutu Pendidikan distem Pendidikan Nasional 1. Bunyi pasal 35 UU No.20 tahun 2003 pasal 35 adalah sebagai berikut: (1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. (2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. (3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. (4) Ketentuan mengenai nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Lihat Peraturan No. 19 Tahun 2005) e. Kesimpulan Kelompok 1. mutu pendidikan tidak hanya dapat dilihat dari prestasi yang dicapai, tetapi bagaimana prestasi tersebut dapat dibandingkan dengan standar yang ditetapkan, seperti yang tertuang di dalam UU No.20 tahun 2003 pasal 35 dan PP No.19 tahun 2005 (Syaifuddin, dkk. 2007:2-7). 2. Standar nasional pendidikan diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan adanya standar, dua orang guru tidak akan meberikan penafsiran berbeda terhadap kedalaman sebuah kompetensi dasar sebuah kurikulum. Demikian juga, dengan proses pembelajaran, guru akan berfokus pada hasil (output) yang harus dicapai, tidak sekedar memenuhi target administratif yang ada dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) (Mulyasa, 2009:18). 3. Kelompok kami menyimpulkan bahwa mutu pendidikan berkaitan dengan tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum di dalam UU No.20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, mutu pendidikan dapat dikatakan baik apabila memenuhi standar nasional pendidikan. .2. Analisis Sistem Kinerja Sistem Pendidikan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki Indonesia yaitu 1. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama UUSPN. 2. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS, 3. Undang-undang Nomor 4 tahun 1950. Undang-undang tentang pokok-pokok pengajaran dan pendidikan Maksud Perubahan UUSPN No.2 tahun 1989 menjadai UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dimaksudkan agar system pendidikan nasional kita bisa menjadi jauh lebih baik dibanding dengan system pendidikan sebelumnya. Hal ini seperti yang dikemukan oleh seorang pengamat hukum dan pendidikan, Frans Hendrawinata[ii] beliau mengatakan bahwa dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru, maka diharapkan undang-undang tersebut dapat menjadi pedoman bagi kita untuk memiliki suatu sistem pendidikan nasional yang mantap, yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang berkualitas. Apalagi mengingat semakin dekatnya era keterbukaan pasar. Hal tersebut sesungguhnya harus menjadi kekhawatiran bagi kita semua mengingat kualitas sumber daya manusia di Indonesia berada di bawah negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga di Asean. Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia internasional khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini. B. Analisis Saat kedua undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan Ahlaq dan budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral. Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, “Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan”. Padahal dalam UU sebelumnya yaitu Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan, 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama Di sisi lain RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan Islam dimana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-madrash mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN tersebut madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak tujuh mata pelajaran. Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang kurangnya sama dengan “SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islamnya)[iii] Sementara saat akan diundangkannya RUU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terjadi juga kontroversi dimana RUU ini dianggap oleh Kelompok tertentu sebagai RUU yang sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi: “Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan. Mereka yang menentang umumnya datang dari kalangan lembaga-lembaga pendidikan swasta non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara pendidikan Islam. Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya. Pasal ini sangat adil. Sebab, sekolah-sekolah non-Islam dan Islam dikenai kewajiban yang sama. Sekolah-sekolah Islam menyediakan guru agama dari non-Islam, sebaliknya sekolah-sekolah non-Islam menyediakan guru-guru agama Islam. Hanya realitasnya adalah banyaknya anak-anak dari keluarga Islam yang bersekolah di sekolah non-Islam. Sementara itu anak-anak dari keluarga non-Islam sedikit sekali – untuk tidak menyatakan tidak ada – yang bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang berwatak Islam. Konsekuensinya, beban anggaran sekolah-sekolah non-Islam untuk menyediakan guru-guru agama Islam lebih besar daripada anggaran sekolah-sekolah swasta Islam untuk menggaji guru-guru agama lain. Padahal UU itu cukup adil. Masalah itu bisa terjawab manakala pemerintah menyediakan dan menanggung gaji guru-guru agama itu. Atau beban itu diserahkan sepenuhnya ke orang tua anak didik, bukan lembaga pendidikan. Jika ini tidak diatasi, akan menimbulkan bahaya besar. Sekolah-sekolah swasta baik Islam maupun non-Islam karena keterbatasan anggaran lalu membatasi jumlah anak didik yang berbeda agama. Departemen Agama (Depag) sudah mengantisipasi dengan menyediakan tenaga guru-guru agama bila RUU Sisdiknas ini disahkan. Jadi, sebetulnya tidak masalah dan mengkhawatirkan soal tenaga guru untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah-sekolah non-Islam. Lain halnya jika dalam memaknai dan memahami pasal 13 RUU Sisdiknas, semula kalangan dari penyelenggara negara sampai lembaga-lembaga pendidikan keagamaan masih terjebak pada kecurigaan-kecurigaan isu agama seperti adanya islamisasi dan seterusnya yang semestinya sudah lama dihilangkan. Jika kita lihat perjalanan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut tidaklah ada yang berjalan mulus kedua-duanya mengandung kontoversi dan pada akhirnya dibalik semua kontroversi yang ada pada tanggal 8 Juli 2003 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional disyahkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri. Banyak sekali keuntungan yang dirasakan oleh ummat Islam dengan diberlakukannya UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 ini, diantaranya : 1. Tujuan Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk merealisasikan nilai-nilai Al Quran yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa (pasal 3). 2. Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari pemurtadan, karena anak-anak tersebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh siswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia (Pasal 12 ayat 1a) 3. Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam system pendidikan nasional secara penuh (Pasal 17 dan 18) 4. Pendidikan keagaamaan seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah, karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok masyarakat tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30). 5. Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (Pasal 37). C. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perubahan UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No 20/2001. Faktor-faktor yang mempengaruhi dirubahnya UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No 20 Tahun 2003 diantaranya adalah : 1. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih bersifat sentralistik 2. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih belum bermutu, kemudian sesuai tuntutan dalam UUSISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dibuatlah Standar Nasional Pendidikan 3. UUSPN No. 2 Tahun 1989 belum mengarah pada pendidikan untuk semua 4. Belum Mengarah pada pendidikan seumur hidup 5. Pendidikan belum link and match dengan dunia usaha dan dunia kerja. 6. Belum menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. D. Penutup Selama tidak ada keinginan dan tidak memiliki prinsip bahwa hari ini harus jauh lebih baik dari hari kemarin maka sehebat apapun undang-undang yang dibuat tetapi tidak meiliki keinginan untuk memperaktekannya di lapangan, maka undang-undang tersebut hanya bagaikan guru di atas kertas tetapi menjadi tikus pada tataran realita. QUALITY CONTROL QUALITY ASSURANCE TQM Quality Control adalah konsep kualitas tertua. Konsep ini melibatkan deteksi dan eliminasi komponen atau produk akhir yang tidak memenuhi standar. Sebagai suatu metode untuk memastikan kualitas maka konsep ini melibatkan berbagai pertimbangan tentang jumlah pemborosan, sisa-sisa dan pekerjaan ulang. Quality Control biasanya dilakukan oleh ahli kualitas profesional yang disebut Quality Coiltrollers atau .Inspector. Inspeksi dan pengujian merupakan metode yang paling dikenal dalam konsep Quality Control, dan secara luas digunakan di bidang pendidikan untuk menentukan apakah standar telah dicapai. Jaminan Kualitas (Quality Assurance)berbeda dengan Quality Control. Ini terjadi sebelum dan saat proses berlangsung. Quality Assurance ini memperhatikan pencegahan kesalahan sebagai suatu prioritas utama. Kualitas didesain ke dalam proses untuk meyakinkan bahwa produk diproduksi untuk menetapkan suatu.spesifikasi. Secara sederhana, Quality Assurance adalah cara agar produksi bebas dari kerusakan dan kesalahan. Menurut istilah. Philip B. Crosby, disebutkan sebagai. kerusakan nol (zero defect). Quality Assurance adalah tentang konsistensi spesifikasi produk atau memperoleh sesuatu. ‘pada saat pertama di setiap waktu’. Quality Assurance ini dibuat untuk suatu pertanggungjawaban terhadap kekuatan kerja, biasanya pekerjaan dibentuk dalam tim, walaupun inspeksi sendiri memegang peranan penting dalam proses ini. Kualitas barang dan jasa dijamin oleh penempatannya dalam sistem, yang dikenal sebagai Quality Assurance System standar kualitas dipelihara dengan mengikuti prosedur yang terdapat dalam QA. system. Total-Quality Management menggabungkan Quality assurance, untuk kemudian diperluas dan dikembangkan. TQM adalah tentang penciptaan suatu budaya kualitas, di mana tujuan setiap anggota atau staf adalah untuk menyenangkan pelanggannya, serta didukung organisasi mereka yang memungkinkan mereka untuk melakukan hal tersebut. Dalam definisi Total Quality tentang kualitas pelanggan adalah raja. Ini merupakan pendekatan yang dipopulerkan Peters dan Waterman dalam In Search of Excellence (1982). Beberapa perusahaan seperti Marks and Spencer, British Airways dan Sainsbury telah melakukan pendekatan ini selama beberapa tahun. Hal ini berkaitan dengan upaya menyediakan apa, kapan dan bagaimana yang diinginkan pelanggan. TQM adalah suatu filosofi suatu peningkatan yang berkelanjutan, yang dapat dijadikan, alat praktis oleh lembaga pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan serta harapan. pelanggan sekarang dan di masa yang akan datang (Edward Sallis) STANDAR DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN A. Pendahuluan Upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan titik strategis dalam upaya menciptakan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu pilar pembangunan bagi suatu bangsa melalui pengembangan potensi individu. Karenanya, dapat dikatakan bahwa masa depan suatu bangsa terletak pada mutu dan kualitas pendidikan yangdilaksanakan. Untuk menjamin mutu dan kualitas pendidikan, diperlukan perhatian yang serius, baik oleh penyelenggaran pendidikan, pemerintah, maupun masyarakat. Sebab, dalam sistem pendidikan nasional sekarang ini,konsentarasi terhadap mutu dan kualitas bukan semata-mata tanggung jawab sekolah dan pemerintah, tetapi merupakan sinergi antara berbagai komponen termasuk masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus sadar dan berkonsentrasi terhadap peningkatan mutu pendidikan. Untuk melaksanakan penjaminan mutu tersebut, diperlukan kegiatan yang sistematis dan terencana dalam bentuk manajemen mutu. Manajemen mutu dalam pendidikan merupakan cara dalam mengatur semua sumber daya pendidikan, yang diarahkan agar semua orang yangterlibat di dalamnya melaksanakan tugas dengan penuh semangat dan berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan pekerjaan sehingga menghasilkanjasa yang sesuai bahkan melebihi harapan pelanggan. B.Manajemen Mutu dalam Pendidikan 1.Konsep Dasar Manajemen Mutu Manajemen adalah mengarahkan/memimpin sesuatu daya usaha melalui perencanaan,pengorganisasian, pengkordinasian dan pengendalian sumber daya (Moefti Wiriadihardja (1987: 30) Manajemensebagai suatu proses pengaturan dan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki organisasi melalui kerjasama para anggota untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. (Syafaruddin ;2005: 42) Dari dua pengertian di atas, dapat dipahami bahwa manajemen merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Sedangkan mutu, secara essensial digunakan untuk menujukkan kepada suatu ukuran penilaian atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada barang (product) dan/atau jasa (service) tertentu berdasarkan pertimbangan obyektif atas bobot dan/atau kinerjanya (AanKomariah dan Cepi Triatna, 2005:9). Jasa/pelayanan atau produk tersebut dikatakan bermutu apabila minimal menyamai bahkan melebihi harapan pelanggan. Dengan demikian, mutu suatu jasa maupun barang selalu berorientasi pada kepuasaan pelanggan. Apabila kata mutu digabungkan dengan kata pendidikan, berarti menunjuk kepada kualitas product yangdihasilkan lembaga pendidikan atau sekolah. Yaitu dapat diidentifikasidari banyaknya siswa yang memiliki prestasi, baik prestasi akademik maupun yang lain, serta lulusannya relevan dengan tujuan (Aan Komariahdan Cepi Tiratna, 2005: 8) Dengan melihat penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemenmutu adalah suatu cara dalam mengelola suatu organisasi yang bersifat komprehensif dan terintegrasi yang diarahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggan secara konsisten dan mencapai peningkatan secara terus menerus dalam setiap aspek aktivitas organisasi. Sasaran yang dituju dari manajemen mutu adalah meningkatkanmutu pekerjaan, memperbaiki prodiktivitas dan efisiensi melalui perbaikan kinerja dan peningkatan mutu kerja agar menghasilkan produk yang memuaskan atau memenuhi kebutuhan pelanggan. Jadi, manajemen mutu bukanlah seperangkat peraturan dan ketentuan yang kaku yang harus diikuti, melainkan seperangkat prosedur proses untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan mutu kerja (Mohammad Ali, 2007: 344). Dalam manajemen produksi, ada suatu mekanisme penjaminan agar produk yang dihasilkan dapat memenuhi standar mutu. Untuk itu pengendalian mutu harus dilakukan sejak awal perencanaan. Apabilapengendalian mutu dilakukan setelah produk dihasilkan bisa menghadapi resiko terjadinya sejumlah produk yang tidak sesuai dengan standar yang diharapkan. Dalam paradigma demikian, tujuan utama manajemen mutu adalah untuk mencegah dan mengurangi resiko terjadinya kesalahan dalam proses produksi, dengan cara mengusahakan agar setiap langkah yang dilaksankan selama proses produksi dapat berjalan sebaik-baiknya sesuai standar. Dengan demikian, dalam manajemen mutu bukan sekedar berupaya agar produk yang dihasilkan memenuhi standar mutu, tetapi lebih difokuskan pada bagaimana proses produksi bisa terlaksana dengan baik, sesuai dengan prosedur yang seharusnya dilakukan. Dengan proses produksi yang baik, tentu akan dapat menghasilkan produk yang baik pula. 2.Manajemen Mutu Pendidikan Pendidikan yang bermutu dan berkualitas merupakan harapan dan dambaan bagi setiap warga negara ini. Masyarakat, baik yang terorganisirdalam suatu lembaga pendidikan, maupun orang tua/wali murid, sangat berharap agar murid dan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang bermutu agar kelak dapat bersaing dalam menjalani kehidupan. Untuk menjawab harapan masyarakat tersebut, setiap lembaga pendidikan hendaknya selalu berupaya agar pendidikan yang dikelolanya dapat menghasilkan produk yang berkualitas, yaitu produk yang dapat memuaskan para pelanggan. Praktek penyelenggaraan pendidikan dapat dikiyaskan denganproses produksi dalam sebuah perusahaan (industri). Hanya saja, produk yang dihasilkan lembaga pendidikan dalam bentuk jasa. Oleh karena itu lembaga pendidikan dapat dikatakan sebagai perusahaan jasa.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts